...
Dan mobil itupun berlalu. Aku berusaha mengejar. Perlahan namun pasti, langkahku semakin cepat, berlari.
Meninggalkan pintu yang terbuka lebar.
... berlari, lari, lari, lari ...
...
Jerry kakakku.
Pulang kuliah dengan wajah kusut penuh amarah. Entah apa yang membuatnya sampai seperti itu. Ia masuk kamar, menutup pintunya dengan dorongan yang keras. Cukup membuatku kaget dan meninggalkan majalah tersayang. Diambilnya sebuah bantal dan dipukulkannya ke badanku. Tidak terlalu sakit memang. Hingga tak kuacuhkan perlakuannya. Tapi nafasnya yang terengah-engah, muka yang merah, dan mata yang hendak menitikkan setetes air bening yang seharusnya tak mudah dilepas, membuatku memperhatikannya.
“Kenapa lo ga cerita sama gue??” Jerry terbakar amarah.
“Cerita apa?? Gue ga ngerti!! Lo apa-apaan siih??” aku mulai takut akan tatapannya. Tatapan penuh rasa benci dan muak yang sebelumnya, selama 16 tahun ku mengenalnya, tak pernah ku lihat ada di mata indah kakakku satu-satunya itu.
“Apa siih maksud lo??” aku meninggikan nada suaraku. Mencoba bertahan dari ketakutan…
“Dewi!!” dia mengucapkan satu nama. Nama yang sudah sangat akrab denganku setahun belakangan ini.
Ya. Dewi.
Gadis berumur 19 tahun, yang sekarang memiliki hubungan istimewa dengan kakakku, menjadi pokok masalah pertengkaran kami, yang biasanya terjadi tak pernah seserius ini.
Saat ia menyebutkan nama pacarnya, Dewi, otakku berputar. Ada apa dengan kak Dewi? Apa hal yang terjadi antara kakakku dengan kekasihnya, sehingga sebegitu marahnya Jerry padaku.
Hingga ku ingat satu rahasia. Rahasia –yang apabila Jerry mengetahuinya- bisa memicu Perang Dunia III. Mungkin.
Rahasia yang bila ku mengingatnya, membuat jantungku terasa berhenti berdetak, membuat darahku terasa berhenti mengalir dan alveolus-ku terasa kehabisan oksigen, yang tersisa hanya kaku, beku, dan penuh racun-racun yang tak berguna dalam tubuh.
Aku sudah mengetahuinya sejak tiga bulan yang lalu. Saat kupergoki Dewi jalan bergandengan dengan seorang eksekutif muda menuju sebuah food court di Lippo Supermall. Walau yang kulihat hanya bergandengan dan makan malam, namun perasaanku menguatkan ada sesuatu yang spesial di antara mereka. Cara mereka bertatapan, cara lelaki itu menggenggam tangan kak Dewi, dan ketika lelaki itu mencium mesra penuh kasih sayang di kening kak Dewi, dan kak Dewi menerimanya dengan rasa bahagia yang tergurat di senyum manis bibir kecilnya.
...
“kak Dewi??” aku bertanya dengan jantung yang berdetak 180km/jam.
“Iya. Lo udah tau kan?? Dia udah punya pacar lagi!!” pernyataannya membuatku miris, bukan kasihan, hanya merasa bahwa wanita seperti itu sangat tidak pantas menerima cinta kakakku, yang memang tidak pernah berlaku lembut padaku, tapi ku tau iya menyayangiku dan mencintai gadis pujaannya, yang kini telah meremukkan jantung hatinya.
Tak sempat aku menjawab namun Jerry telah keluar dari kamar. Ku kejar. Dapat! Ku raih tangannya. Ku coba jelaskan apa yang tak jelas selama ini. Namun tangannya yang satu, menggenggam dan melepas genggaman tanganku pada tangannya. Ia keluar dari rumah. Ku panggil namanya dengan keras. Tapi tak terdengar Karena ia telah memasuki mobilnya.
...
Aku berhenti. Mengatur nafas yang sekarang tak teratur. Sesak. Namun lebih pedih hatiku ini. Maaf ‘a… rasa sesal yang kemudian membuncah mendorongku menitikkan setetes air bening yang seharusnya tak mudah dilepas.
... berlari, lari, lari, lari ...
...
Jerry kakakku.
Pulang kuliah dengan wajah kusut penuh amarah. Entah apa yang membuatnya sampai seperti itu. Ia masuk kamar, menutup pintunya dengan dorongan yang keras. Cukup membuatku kaget dan meninggalkan majalah tersayang. Diambilnya sebuah bantal dan dipukulkannya ke badanku. Tidak terlalu sakit memang. Hingga tak kuacuhkan perlakuannya. Tapi nafasnya yang terengah-engah, muka yang merah, dan mata yang hendak menitikkan setetes air bening yang seharusnya tak mudah dilepas, membuatku memperhatikannya.
“Kenapa lo ga cerita sama gue??” Jerry terbakar amarah.
“Cerita apa?? Gue ga ngerti!! Lo apa-apaan siih??” aku mulai takut akan tatapannya. Tatapan penuh rasa benci dan muak yang sebelumnya, selama 16 tahun ku mengenalnya, tak pernah ku lihat ada di mata indah kakakku satu-satunya itu.
“Apa siih maksud lo??” aku meninggikan nada suaraku. Mencoba bertahan dari ketakutan…
“Dewi!!” dia mengucapkan satu nama. Nama yang sudah sangat akrab denganku setahun belakangan ini.
Ya. Dewi.
Gadis berumur 19 tahun, yang sekarang memiliki hubungan istimewa dengan kakakku, menjadi pokok masalah pertengkaran kami, yang biasanya terjadi tak pernah seserius ini.
Saat ia menyebutkan nama pacarnya, Dewi, otakku berputar. Ada apa dengan kak Dewi? Apa hal yang terjadi antara kakakku dengan kekasihnya, sehingga sebegitu marahnya Jerry padaku.
Hingga ku ingat satu rahasia. Rahasia –yang apabila Jerry mengetahuinya- bisa memicu Perang Dunia III. Mungkin.
Rahasia yang bila ku mengingatnya, membuat jantungku terasa berhenti berdetak, membuat darahku terasa berhenti mengalir dan alveolus-ku terasa kehabisan oksigen, yang tersisa hanya kaku, beku, dan penuh racun-racun yang tak berguna dalam tubuh.
Aku sudah mengetahuinya sejak tiga bulan yang lalu. Saat kupergoki Dewi jalan bergandengan dengan seorang eksekutif muda menuju sebuah food court di Lippo Supermall. Walau yang kulihat hanya bergandengan dan makan malam, namun perasaanku menguatkan ada sesuatu yang spesial di antara mereka. Cara mereka bertatapan, cara lelaki itu menggenggam tangan kak Dewi, dan ketika lelaki itu mencium mesra penuh kasih sayang di kening kak Dewi, dan kak Dewi menerimanya dengan rasa bahagia yang tergurat di senyum manis bibir kecilnya.
...
“kak Dewi??” aku bertanya dengan jantung yang berdetak 180km/jam.
“Iya. Lo udah tau kan?? Dia udah punya pacar lagi!!” pernyataannya membuatku miris, bukan kasihan, hanya merasa bahwa wanita seperti itu sangat tidak pantas menerima cinta kakakku, yang memang tidak pernah berlaku lembut padaku, tapi ku tau iya menyayangiku dan mencintai gadis pujaannya, yang kini telah meremukkan jantung hatinya.
Tak sempat aku menjawab namun Jerry telah keluar dari kamar. Ku kejar. Dapat! Ku raih tangannya. Ku coba jelaskan apa yang tak jelas selama ini. Namun tangannya yang satu, menggenggam dan melepas genggaman tanganku pada tangannya. Ia keluar dari rumah. Ku panggil namanya dengan keras. Tapi tak terdengar Karena ia telah memasuki mobilnya.
...
Aku berhenti. Mengatur nafas yang sekarang tak teratur. Sesak. Namun lebih pedih hatiku ini. Maaf ‘a… rasa sesal yang kemudian membuncah mendorongku menitikkan setetes air bening yang seharusnya tak mudah dilepas.
...
0 Comments:
Post a Comment